KOTA BOGOR, - Wacana penundaan pemilu beberapa akhir ini menghebohkan masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan baik dari pihak akademisi, politisi hingga masyarakat awam.
Para politikus sepertinya menginginkan kegaduhan terus terjadi di kalangan masyarakat Indonesia ini tidak berhenti. Dikala masyarakat sedang di hebohkan dan di bebani oleh langkanya minyak goreng yang tidak semua masyarakat mampu untuk menjangkau keberadaan minyak goreng tersebut, pun adanya minyak goreng tersebut tetapi dengan harga yang melangit yang tetap saja tidak dapat dijangkau oleh masyarakat secara umum, hanya segelintir kalangan masyarakat yang mampu membelinya.
Ditengah-tengah langkanya kebutuhan masyarakat terhadap minyak goreng masyarakat dibuat untuk terus mampu survive dan seakan-akan kegilaan-kegilaan yang terjadi di Indonesia ini masyarakat dianggap harus menerimanya dengan wajar.
Bagaimana tidak, pemerintah yang seharusnya menjamin kebutuhan masyarakat di era vandemic covid yang masih terus berlangsung ini sesuai Undang-Undang Nomor 6 pasal 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan jelas menegaskan bahwa “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”, lebih tegas lagi di pasal 8 menyebutkan bahwa “Setiap Orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina”.
Bahkan secara khusus dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pasal 4 ayat (1) “Pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. pasal 4 ayat (3) “Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk”.
Tetapi yang dilakukan pemerintah tidak sesuai baik dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19. Ditambah lagi dengan isu yang sengaja harus dikonsumsi oleh masyarakat dengan penundaan pemilu 2024.
Isu penundaan pemilu pertama kali dikeluarkan oleh salah satu ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kemudian disambut hangat oleh beberapa ketua umum partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang seharusnya menurut hemat penulis mereka tidak menambah kegaduhan yang terjadi di era vandemic ini dengan mengusulkan wacana penundaan pemilu.
Dan sudah jelas di tegaskan di pasal 22e ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Jadi sudah jelas penundaan pemilu inkontitusional. Pun jika di paksakan untuk penundaan pemilu maka harus mengambil langkah amandemen terlebih dahulu, dan menurut hemat saya amandemen yang dilakukan untuk penundaan pemilu tidak sesuai dengan syarat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Dasar menyebutkan bahwa “Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya”. Karena jika dilihat alasan penundaan pemilu oleh ketua umum - ketua umum partai seoalah-olah alasannya terkesan di buat-buat dan di paksakan.
Selain itu juga yang perlu kita ingat bersama kembali bahwasannya amandemen Undang-Undang Dasar itu harus sesuai dengan keinginan dan kesepakatan rakyat bukan hanya untuk kepentingan politikus semata. Maka diharuskannya sikap tegas dari presiden Jokowi untuk menolak penundaan pemilu untuk meangkhiri segala polemic yang terjadi.
28 Maret 2022
Sumber: Munjin Sulaeman (Ketua BEM FH UNPAK)
Baca juga:
Mutiara Palabuhanratu Pesona Sukabumi
|